Kamis, 09 Oktober 2008

Intenational Law

Negara Sebagai Salah Satu Subjek Hukum Internasional

A. Negara Sebagai Subjek Utama Hukum Internasional
Banyak ahli hukum internasional yang memberikan definisi mengenai negara. Seperti C. Humphrey Wadlock yang memberikan pengertian negara sebagai suatu lembaga (institution), atau suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Fenwich mendefinisikan negara sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisasikan secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu dan hidup dalam batas-batas daerah-daerah tersebut, bebas dari negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi. Sedangkan menurut J.G. Starke negara adalah satru lembaga yang meruapakan satu sistem yang mengatur hubungan-hungungan yang ditetapkan oleh dan diantara manusia itu sendiri, sebagai satu alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang paling Penting diantaranya seperti satu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. Dari sekian banyak definisi negara yang diberikan oleh para ahli, ada satu patokan standar dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American) The Convention On Rights and Duties of State of 1933. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Negara sebagai subjek hukum internasional harus memilki penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain.
Dari definisi Pasal 1 Montevideo diatas disebutkan mengenai unsure-unsur konstitutif negara, yaitu (1) Penduduk yang tetap, (2) Wilayah tertentu, (3) Pemerintah dan (4) Kedaulatan. Berikut penjelasan mengenai unsur-unsur konstitutif negara.

1. Penduduk yang tetap
Penduduk atau rakyat suatu negara adalah sekelompok orang yang secara tetap atau permanen mendiami atau bermukim dalam suatu wilayah yang juga sudah pasti luasnya. Sedangkan menurut Boer Mauna penduduk adalah kumpulan individu-individu yang terdiri dari dua kelamin tanpa memandang suku, bahasa , agama dan kebudayaan, yang hidup dalam suatu masyarakat dan terikat dalam suatu negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan.
Dalam hukum internsional tidak ada pembatasan tentang jumlah penduduk untuk dapat mendirikan suatu negara. Contohnya negara Brunei dengan 344.000 orang dan Liechstenstein dengan 33.000 orang.
2. Wilayah tertentu
Tidak ada negara tanpa wilayah, karena itu adanya wilayah adalah hal yang mutlak adanya bagi dinyatakannya sebuah entitas sebagai negara. Wilayah yang tetap adalah wilayah yang dimukimi oleh penduduk atau rakyat dari negara itu. Agar wilayah dapat dikatakan tetap, maka harus ada batas-batasnya. Luas wilayah negara tidak menjadi masalah dalam hukum internasional. Seperti Singapura dengan luas wilayah 278 km2 dan Cina dengan 9.596.961 km2.
Perubahan-perubahan tapal batas , baik yang mengakibatkan bertambah atau berkurangnya wilayah suatu negara tidak akan mengubah identitas negara tersebut. Bertambah luasnya laut Indonesia sebagai akibat penerapan Konsepsi Wawasan Nusantara tidak mengubah identitas Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Namun tentunya batas-batas suatu negara harus jelas, untuk menghindari sengketa dengan negara-negara tetangga.
Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan dan udara. Koferensi PBB mengenai hukum laut telah mengelompokkan sebagaian besar negara di dunia atas 3 kelompok, yaitu kelompok negara-negara pantai (the coastal states group) yaitu 152 negara seperti Indonesia, Phillipina, Australia, Mesir, Meksiko, Kanada. Negara-negara yang tidak berpantai (the land-locked states group) terdiri atas 42, seperti Afghanistan, Laos, Austria, Swiss, Paraguay. Negara-negara secara geografis tidak menguntungkan (the geographically disadvantaged states group) seperti Singapura, Iraq, Kuwait, Belgia, Sudan, Syria, Swedia.
3. Pemerintahan
Sebagai suatu person yuridik, negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurakan kehendaknya atau sebagai pemimpin . Sebagai tempat kekuasaan, negara hanya dapat melaksanakan kekuasaan tersebut melalui organ-organ yang terdiri dari individu-individu. Individu-individu pemimpin yang terorgansisasi inilah yang kemudian dinamakan pemerintah.
Yang disebut pemerintah, biasanya badan eksekutif dalam suatu negara yang dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegaitan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diinginkan hukum internasional adalah bahwa pemerintah tersebut mempunyai kekuasaan yang efektif atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Efektif maksudnya adalah pemerintah tersebut memiliki kapasitas riil untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk pemeliharaan keamanan dan tata tertib dalam negeri dan pelaksanaan komitmen di luar negeri.
Hukum internasional tidak mencampuri bagaimana bentuk pemerintahan suatu negara karena hal itu merupakan wewenang hukum nasional dari masing-masing negara.
Disamping itu perlu dicatat bahwa suatu negara tidak langsung berakhir jika tidak lagi mempunyai pemerintahan yang efektif karena perang saudara atau diduduki oleh kekuataan asing. Yang terpenting adalah, pemerintah tersebut harus memilki kontrol atau kemampuan untuk menguasai secara penuh atas semua luas wilayah yang berada dibawah kekuasaannya dan terhadap semua warga yang berada diwilayahnya. Inilah salah satu alasan utama Palestina terhambat untuk dinyatakan sebagai suatu negara.
Contoh negara yang pemerintahanya bubar karena Perang saudara dan pendudukan oleh kekuatan asing, namun tetap bersatus Negara, yaitu Somalia, ketika Presidenya Mohamad Said Barre digulingkan oleh Jenderal Farah Aideed tahun 1991 masih tetap bersatus negara dan tetap anggota oleh PBB. Kuwait yang diduduki oleh Irak tahun 1990, unsur status negara tidak berubah walaupun diduduki oleh kekuataan asing. Jadi yang dituntut disini Menurut Martin Dixon adalah ‘selama pemerintahan tersebut mampu menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam maupun hubungan luar negeri sebagaimana layaknya sebuah negara dilingkungan komunitas internasional’
4. Kedaulatan
Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban Negara menyebutkan unsur konstitutif ke-4 bagi pembentukan negara adalah capacity to enter into relations with other sites. Unsur tersebut memiliki persamaan dengan ‘Kemerdekaan’, maksudnya suatu negara tidak memilki kemampuan untuk melakukan hubungan luar negeri maka bisa dikatakan bahwa negara tersebut tidak merdeka. Ketentuan ini dinyatakan secara eksplisit sebagai bagian dari prinsip-prinsip hubungan internasional dalam piagam PBB.
Suatu negara dapat saja lahir dan hidup tetapi itu belum berarti bahwa negara tersebut mempunyai kedaulatan. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal kepentingan tersebut tidak bertentanag dengan hukum internasional. Kedaulatan memiliki 3 aspek utama, yaitu:
Aspek ekstern keadaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
Aspek intern kedaulatan adalah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembagnya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diingnkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
Aspek territorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif ytang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.
B. Berbagai macam bentuk negara
1. Negara Kesatuan
Undang-undang Dasar negara kesatuan memberikan kekuasaan penuh pada pemerintahan pusat untuk melaksanakan kegiatan hubungan luar negeri. Contoh Perancis dan Indonesia yang menganut bentuk negara ini dan biasanya tidak menimbulkan kesulitan dalam hukum internasional. Bentuk negara kesatuan jumlahnya sekitar separuh diseluruh dunia.
2. Negara Federal
Negara federal adalah gabungan sejumlah negara yang dinamakan negara-negara bagian yang diatur oleh suatu undang-undang dasar yang membagi wewenang antara pemerintah federal dan negara-negara bagiannya.Walaupun negara-negara bagian mempunyai konstitusi dan pemerintahan masing-masing, negara federal inilah yang merupakan subjek hukum internasional. Hanya pemerintah federal yang mempunyai wewenang untuk menyatakan perang, membuat perdamian, membuat perjanjian politik dan militer. Tidak satupun dari negara bagian dapat ikut dalam kegaitan-kegiatan tersebut. Wewenang luar negeri yang dimiliki oleh negara federal bukan ditentukan oleh hukum internasional, tetapi oleh konstitusi negara federal.
Walupun masalah-masalah luar negeri merupakan wewenang eksklusif pemerintah federal, ada beberapa negara yang UUD federalnya memberikan wewenang terbatas kepada negara bagian. Misalnya, Swiss melalui UUD mengizinkan negara-negara bagianya untuk membuat peraturan lalu lintas darat, sungai dan udara dengan negara-negara tetangga. Negara-negara yang menganut sistem federal adalah AS, Kanada, Australia, Argentina, Meksiko, Brazil dan Afrika Selatan.
3. Gabungan Negara-Negara Merdeka
a. Uni Riil
Maksudnya adalah penggabungan dua negara atau lebih melalui suatu perjanjian internasional dan berada dibawah kepala negara yang sama dan melakukan kegiatan internasional sebagai satu kesatuan. Contoh negara Austria dan Hongaria, namun bubar sesaat sebelum berakhirnya PD 2 (1918), Denmark dan Iceland dari 1918-1944.
b. Uni Personil
Terbentuk bila dua negara berdaulat menggabungkan diri karena mempunyai raja yang sama. Contoh Belanda dan Luxemburg 1815-1890, Belgia dan Kongo 1855-1908, British Commonwealth of Nations yang mengakui Ratu Elizabeth II sebagai Kepala Negara, seperti Kanada dan Australia
4. Konfederasi
Merupakan gabungan dari sejumlah negara melalui suatu perjanjian internasional yang memberikan wewenang tertentu kepada konfederasi. Contoh Swiss yang menamakan dirinya negara konfederasi tapi sejak tahun 1848 pada hakekatnya lebih bersifat federal dimana wewenang luar negeri berada di tangan pemerintah federal.
5. Negara-Negara Netral
Adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini terbagai atas dua, yaitu netralitas tetap dan netarlitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralisme positif.
Netralitas tetap adalah negara yang netralitasnya dilindungi oleh perjanjian internasional seperti Swiss dan Austria. Netralitas sewaktu-waktu adalah sikap netral yang hanya berasal dari kehendak negara itu sendiric (self-imposed) yang sewaktu-waktu dapat ditinggalkannya seperti Swedia. Politik netral atau Netralisme positif adalah kebijaksanaan yang dianut oleh negara-negara Non-Blok.
6. Negara yang Terpecah
Sebagai akibat dari PD 2 dimana suatu negara diduduki oleh negara-negara besar yang menang perang. Perang Dingin sebagai akibat pertentangan ideology dan politik antara Blok Barat dan Blok Timur telah menyebabkan negara yang diduduki pecah menjadi dua yang mempunyai ideology dan sistem pemerintahan yang saling berbeda dan menjurus pada sikap saling mencurigai. Contoh negara yang terpecah-pecah adalah Cina, Jerman, Korea, Vietnam dan Cyprus.
7. Negara-Negara Kecil
Adalah negara yang mempunyai wilayah sangat kecil dengan penduduk yang sangat sedikit pula. Negara ini mempunyai semua unsur konstitutif seperti yang dipersyaratkan oleh hukum internasional bagi pembentukan suatu negara. Dari 191 negara anggota PBB, 41 negara berpenduduk kurang dari 1 juta dan 15 negara berpenduduk kurang dari 100.000 orang. Walupun merupakan negara merdeka dan berdaulat serta termasuk subjek hukum internasional tidak semua negara-negara ini sanggup melaksanakan kedaulatan keluarnya, seperti mempunyai perwakilan diplomatik dan konsuler atau menjadi anggota organisasi internasional. Pertimbangan utamanya karena mahalnya biaya pembukaan misi perwakilan tetap diluar negeri. Kekurangan personlia dan beratnya beban pembayaran kontribusi wajib pada organisasi internasional.
8. Protektorat
Merupakan rejim konvensional antara dua negara yang secara tidak sama membagi pelaksanaan berbagai wewenang. Dalam sistem ini, negara kolonial memperoleh sejumlah wewenang atas negara yang dilindunginya, sehingga negara yang berada dibawah kekuasaan negara kolonial mempunyai kapasitas yang terbatas dalam hubungan luar negeri dan pertahanan. Dan pada prakteknya negara pelindung mencampuri masalah intern negara yang dilindungi terutama dibidang ekonomi dan politik. Contonhnya negara Tunisia, Maroko, Kamboja, Laos dan Vietnam yang dulunya merupakan protektorat Perancis. Namun sekarang tidak ada lagi negara yang berada di bawah sistem protektorat.

C. Suksesi Negara
Istilah suksesi mengimplikasikan akan adanya suatu perpindahan kekuasaan dari kelompok yang pertama kepada yang kedua. Kontroversi yang kerap muncul adalah apakah dalam hal terjadi suksesi akan berlaku sebagaimana layaknya hukum waris, dimana ada pandangan bahwa pewaris menerima konsekuensinya yang berupa menanggung segala hak dan kewajiban yang dibebankan kepada pihak pertama, ada pula yang memandang bahwa pihak pewaris harus diperlakukan sebagaimana layaknya entitas baru yang benar-benar tidak terbebani oleh tindakan-tindakan dari pendahulunya. Namun menurut O’Connell kedua pemahaman diatas tidak benar dan akan selalu muncul dalam pembahasan mengenai suksesi.
Menurut Konvensi 1978, mengenai Suksesi terhadap Traktat Pasal 2 (b) dinyatakan ‘suksesi negara berarti perpindahan tanggung jawab dari suatu negara kepada negara lain dalam kaitannya dalam praktek hubungan internsional dari wilayah tersebut’. Pemahaman diatas menyebutkan terjadinya ‘perubahan kedaulatan atas suatu wilayah’ yang menunjukkan pada luasnya peristiwa pada kategori suksesi. Sehingga suksesi meliputi penggabungan, pemisahan ataupun pembentukkan sebuah negara atau hal-hal lain yang memiliki konsekuensi terjadinya perubahan kedaulatan.
Sementara itu menurut Shearer mengaitkan suksesi sebagai ‘penggantian satu negara oleh negara lain dalam hubungannya dengan hubungan internasional dari wilayah tersebut’. Selanjutnya Shearer menegaskan bahwa penjelasan mengenai suksesi jauh membingungkan, yang kemudian dikaitkannya dengan peralihan kekuasaan atas wilayah Hongkong dimana Inggris sebagai negara penyewa (leasee). Disamping itu, penggunaan kata suksesi sebenarnya tidak tepat karena menunjukkan analogi dengan hukum perdata nasional yang terkait dengan Hukum Waris. Sedangkan dalam hal suksesi negara, persoalan yang utama hanyalah perubahan kedaulatan dari suatu wilayah. Sedangkan suatu negara baru (successor state) kemudian menjadi subjek hukum internasional tidak disebabkan oleh hal lain, kecuali karena sebagai negara. Dalam beberapa hal suksesi akan diputuskan melalui perjanjian internasional. Suksesi mengambil bentuk sebagaimana halnya perjanjian yang dibuat antara penguasa koloni dan wilayah koloninya yang dinyatakan melalui perjanjian bilateral, yang tentunya tidak mengikat pihak ketiga.
Dalam praktek perubahan terhadap kedaulatan dari suatu wilayah ada dalam berbagai cara. Menurut O’Brien suksesi negara dapat terjadi sebagai berikut:
a. Bagian dari negara A bergabung dengan negara B atau menjadi tergabung dalam beberapa negara X,Y dan Z
b. Bagian dari negara A menjadi satu negara baru
c. Seluruh wilayah dari negara X menjadi bagian dari negara Y
d. Seluruh wilayah negara A terbagi menjadi beberapa negara baru X, Y dan Z
e. Keseluruhan bagian dari negara X membentuk dasar bagi beberapa negara baru yang berdaulat.

Pengaturan mengenai permasalahan suksesi dalam instrumen internasional terdapat dalam The Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties 1978 dan The Vienna Convention on Succession of State in Respect of State Property, Archives and Debts 1983. Konvensi-konvensi tersebut belum berlaku efektif. Namun kebanyakan ketentuan yang terkandung didalamnya mencerminkan hukum internasional yang berlaku saat ini.








Tidak ada komentar: